Kajian Ilmiah Untuk Toba, Oleh Leonardus AB Sitorus
MAKALAH
ANALISIS PEMETAAN KONFLIK TENURIAL DAN KEBIJAKAN PENYELESAIANNYA
(KASUS DI KPHL UNIT XIV AEK NATOLU KABUPATEN TOBA)
TUGAS MATA KULIAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN
Mahasiswa:
LEONARDO ARIFIN BUDIMAN SITORUS
NRP. 202011429
DOSEN:
Dr. AGUS PURWOKO, S.Hut.,M.Si
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVESITAS SUMATERA UTARA
TAHUN 2021
BAB I.
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hutan berperan penting dalam mengatur tata air (Ulya dkk, 2014), gudang plasma nutfah dan menjaga kesuburan tanah (Indriyanto, 2006), dan menyerap karbondioksida di udara (Wibowo, 2013). Selain untuk perlindungan lingkungan, hutan juga berfungsi sebagai sumber ekonomi bagi manusia, seperti sumber pangan (Dwiprabowo dkk, 2011), penghasil kayu (Rahmat, 2011; Hidayat, 2012), barang tambang (Zubayr, dkk, 2014), dan ekowisata (Supyan, 2011). Untuk mengakomodir fungsi perlindungan lingkungan dan fungsi ekonomi dari hutan secaraseimbang, pemerintah membuat kebijakan pengklasifikasian kawasan hutan menjadi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi(Anonimus, 1999). Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat di sekitar hutan telah terjadi di sepanjang sejarah manusia. Selain berfungsi secara ekologis dalam menjaga keseimbangan ekosistem, hutan juga berfungsi ekonomis dan sosial. Menurut Simon (2004) peran hutan bagi masyarakat sekitar adalah (1) sumber kayu u ntuk bangunan, kayu bakar, alat pertanian, (2) sumber pangan dan obat alami : umbi-umbian, empon-empon, hewan buruan, (3) sumber pakan ternak dan tempat penggembalaan, (4) sumber cadangan lahan untuk bercocok tanam.
Fungsi hutan lindung sebagai sistem penyangga kehidupan sudah tidak berjalan dengan baik. Perubahan tutupan vegetasi di hutan lindung mulai terjadi ketika kepemilikan lahan pertanian masyarakat mulai menyempit. Pertambahan penduduk yang terus menerus menyebabkan tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan semakin tinggi, sedangkan penegakan hukum bagi para perambah hutan belum berjalan maksimal (Kaimuddin, 2008). Ketergantungan masyarakat ke dalam kawasan hutan menjadi tinggi (Yusran dan Abdulah, 2007). Ketergantungan masyarakat hutan dalam memanfaatkan hutan tidak seluruhnya dipayungi oleh aturan hukum yang ada. Masih banyak masyarakat yang mengolah lahan hutan secara illegal. Klaim terhadap lahan garapan sebagai tanah adat yang merupakan warisan leluhur dijadikan alasan untuk memanfatkan kawasan hutan. Tindakan yang dilakukan masyarakat dengan memanfaatkan hutan lindung sebagai lahan pertanian secara tidak sah merupakan tindakan penyerobotan kawasan hutan, sehingga menimbulkan konflik dengan pengelola kawasan hutan (Dassir, 2008). Hutan menjadi sumber konflik karena banyak pihak yang berkepentingan dalam pengelolaannya, baik konflik antar pribadi maupun konflik dengan institusi negara atau perusahaan. Sebagian konflik yang terjadi dalam pengelolaan hutan adalah konflik penguasaan lahan (tenurial). Menurut Larson (2013) tenurial lahan hutan berkenaan dengan siapa yang memiliki lahan hutan, dan siapa yang memanfaatkan, mengelola, dan memutuskan perihal sumber daya hutan. Tenurial lahan hutan menentukan siapa yang diizinkan untuk menggunakan sumber daya apa, dengan cara bagaimana, selama berapa lama dan dengan syarat apa dan siapa yang berhak mengalihkan kepada pihak lain dan bagaimana caranya. Tenurial lahan hutan berkenaan dengan siapa yang memiliki lahan hutan, dan siapa yang memanfaatkan, mengelola, dan memutuskan perihal sumber daya hutan sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan pada hutan itu sendiri. Kerusakan tersebut terindikasi disebabkan oleh kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengelolaan, penguasaan dan penggunaan hutan konservasi tanpa persetujuan yang sah dari pihak berwenang seperti: penebangan liar, perburuan liar, perambahan kawasan, klaim lahan, klaim batas kawasan, pertambangan dalam kawasan, serta berbagai tindakan pemanfaatan, penggunaan, dan penguasaan ilegal lainnya.
Ketergantungan dan tekanan yang tinggi masyarakat terhadap kawasan hutan, membuat pemerintah mencari berbagai skema pemanfaatan hutan oleh masyarakat. Kementerian kehutanan telah melakukan revitalisasi dalam pengelolaan kawasan hutan melalui program sosial forestry dengan berbagai pola pemberdayaan masyarakat (Heryatna, dkk., 2015). Berbagai perselisihan dan pertentangan penguasaan, penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatan lahan di dalam kawasan hutan tersebut merupakan bentuk konflik tenurial yang harus segera diselesaikan. Upaya penyelesaian konflik tenurial yang diharapkan dapat melindungi dan mempertahankan fungsi Kawasan Hutan pada Wilayah KPHL Unit XIV Toba dengan tetap memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
.
- Permasalahan
Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan. Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.
Issu strategis yang saat ini menjadi pemacu semakin maraknya permasalahan konflik tenurial pada Kawasan Hutan yang menjadi Wilayah Kerja KPHL Unit XIV Toba adalah:
- Konflik antara masyarakat adat dengan BPODT. Ini terjadi akibat ditunjuk dan/atau ditetapkannya Kawasan Hutan yang di klaim sebagai Hutan Adat menjadi pengembangan wilayah pariwisata oleh BPODT.
- Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang IUPHHK-HT PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Meskipun ini terjadi akibat Kemenhut melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan memberikan hak memanfaatkannya kepada pemegang izin, seringkali tipologi ini juga dipicu karena pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang izin.
- Konflik antara masyarakat vs Kemenhut vs BPN. Misalnya konflik penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan.
- Konflik antara calo tanah vs elit politik vs masyarakat petani vs Kemenhut vs BPN. Misalnya konflik karena adanya makelar/calo tanah yang umumnya didukung oleh ormas/parpol yang memperjualbelikan tanah kawasan hutan dan membantu penerbitan sertifikat pada tanah tersebut.
Konflik tenurial memicu persoalan bersama (common problems) seperti kerusakan lahan dan lingkungan (deforestasi, pencemaran udara dan badan air); ketersediaan prasarana wilayah (transportasi, drainase primer dan sekunder, pengelolaan sampah dan limbah, perumahan layak huni, RTH regional, dan lainnya); pengaturan sarana wilayah (angkutan umum massal, fasilitas umum dan fasilitas sosial regional); ketersediaan energi, dan lainnya.
- Tinjauan Pustaka
Konflik Konflik didefinisikan oleh beberapa penulis dalam perspektif yang berbeda-beda. Menurut Pruitt dan Rubin (2004), konflik adalah perbedaan persepsi mengenai kepentingan (perceived divergence of interests). Sedangkan menurut Danish Centre for Conflict Resolution, konflik adalah ketidaksepahaman yang mengarah pada ketegangan di dalam masyarakat atau di antara manusia. Ketidaksepahaman berkaitan dengan suatu isu, sedangkan ketegangan berkaitan dengan hubungan antar manusia (Vastergaard, 2011). Berdasarkan beberapa definisi tersebut, konflik dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu dari sisi perbedaan persepsi terhadap suatu isu atau peristiwa antara pihak satu dengan pihak lain, dan bisa dilihat dari sisi perbedaan tujuan atau kepentingan terhadap suatu isu atau Peran Perhutani dalam Penyelesaian Konflik Tenurial pada Kawasan Hutan. Dengan demikian, konflik tidak hanya terjadi antara beberapa pihak yang mempunyai tujuan atau kepentingan yang berbeda, namun bisa dimungkinkan juga terjadi antara beberapa pihak dengan kepentingan sama, namun berbeda persepsi terhadap kepentingan tersebut. Konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif dan atau negatif. Segi positif konflik muncul ketika konflik membantu mengidentifikasikan sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman. Konflik juga akan bermanfaat ketika mempertanyakan status quo, di mana kemudian sebuah pendekatan kreatif akan muncul. Sebaliknya konflik dapat bersifat negatif jika diabaikan. Konflik yang tidak terselesaikan merupakan sumber kesalahpahaman, ketidakpercayaan, serta bias. Konflik menjadi buruk apabila menyebabkan semakin meluasnya hambatanhambatan untuk saling bekerja sama antar berbagai pihak (Mitchell et al. 2007). Menurut dimensinya terdapat dua jenis konflik, yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal adalah konflik antara elite dan masssa (rakyat). Elite di sini bisa para pengambil kebijakan di pusat pemerintahan, kelompok bisnis, atau aparat militer. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya, contohnya konflik antar agama dan konflik antar suku. Selain jenis konflik, kita perlu mengenal tipe konflik yang menggambarkan persoalan dalam sikap, perilaku dan atau situasi yang ada. Menurut Fisher (dalam Susan, 2009) tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka dan konflik di permukaan. Keadaan tanpa konflik menggambarkan situasi yang relatif stabil, di mana hubungan antar kelompok bisa saling memenuhi dan damai. Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat di permukaan agar bisa ditangani. Konflik terbuka adalah situasi di mana konflik telah muncul di permukaan, berakar sangat dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau bahkan tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi atau dialog terbuka.
Penyebab konflik pada sektor kehutanan di Indonesia menurut Wulan et al. (2004) dapat dibagi menjadi lima yaitu: 1) Perambahan hutan, yaitu kegiatan pembukaan lahan pada kawasan hutan yang bermasalah karena perbedaan penafsiran mengenai kewenangan dalam pengelolaannya; 2)Penebangan kayu, yaitu penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan oleh masyarakat/perusahaan di lahan yang bukan miliknya, sehingga menimbulkan konflik dengan pihak lain yang merasa dirugikan; 3)Batas, yaitu perbedaan penafsiran mengenai batas-batas pengelolaan/ kepemilikan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik;4) Perusakan lingkungan, yaitu kegiatan eksploitasi yang menyebabkan degradasi manfaat sumber daya alam dan kerusakan mutu lingkungan di suatu daerah, dan 5)Alih fungsi, yaitu perubahan status kawasan hutan (misalnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi) yang menimbulkan berbagai permasalahan antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertikal maupun konflik horisontal. Kedua jenis konflik ini dapat bersumber dari perbedaan persepsi dan benturan kepentingan antar setiap aktor. Selain itu, konflik juga dapat bersumber dari persaingan antar aktor dalam mencapai tujuannya masing-masing, adanya perbedaan akses di antara pihak yang terlibat, ataupun bersumber dari apa yang terjadi pada objek konflik, dalam hal ini adalah sumber daya hutan (Sardi, 2010).
Beberapa strategi yang digunakan untuk mengatasi konflik menurut Pruitt dan Rubin (2004) adalah: 1) Contending (bertanding), yaitu dengan memilih solusi yang disukai salah satu pihak. Pihak yang menerapkan strategi ini mempertahankan aspirasinya sendiri dan membujuk pihak lain untuk mengalah. Taktik yang dipakai dalam strategi ini antara lain dengan membujuk, mengancam dan menjatuhkan penalti bila pihak lawan tidak mau mengalah; 2) Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang diinginkan, tidak selalu berarti penyerahan total. Seringkali strategi ini diambil untuk mendapatkan kesepakatan yang diterima semua pihak; 3) Problem Solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua pihak. Pihak-pihak yang menerapkan strategi ini berusaha untuk mempertahankan aspirasinya sendiri tetapi sekaligus berusaha menemukan cara untuk melakukan rekonsiliasi dengan aspirasi pihak lain. Kesepakatan yang diperoleh di dalam problem solving dapat berbentuk kompromi (alternatif nyata yang berada di antara posisi-posisi yang disukai oleh masing-masing pihak, atau dapat juga berbentuk suatu solusi integratif (rekonsiliasi kreatif atas kepentingan-kepentingan mendasar masing-masing pihak), 5) Withdrawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis serta; 5) Inaction (diam), yaitu sementara tidak melakukan apapun namun tetap membuka kemungkinan untuk upaya penyelesaian konflik.
Sebagian konflik menuntut diterapkannya kombinasi dari beberapa strategi resolusi. Contending dan problem solving dapat diterapkan melalui banyak variasi taktik. Contending, yielding dan problem solving dianggap sebagai strategi untuk menghadapi konflik, sementara withdrawing dan inaction adalah strategi untuk menghentikan atau mengabaikan konflik. Pendekatan Penyelesaian Konflik Mitchell et al. (2007) mengemukakan empat pendekatan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan konflik sumber daya alam dan lingkungan, yaitu pendekatan politis, administrasi, hukum dan alternatif penyelesaian konflik. Pendekatan politis dilakukan oleh politisi dan pengambil keputusan yang mempertimbangkan berbagai nilai dan kepentingan yang berbeda, kemudian mengambil keputusan berdasarkan nilai dan kepentingan tersebut. Pengambil keputusan bisa meminta bantuan atau nasihat dari para ahli atau mendengarkan aspirasi masyarakat melalui diskusi atau dialog. Pendekatan administrasi dilakukan melalui organisasi pengelolaan sumberdaya alam yang resmi dibentuk dan memberikan kesempatan pada para birokrat untuk mengambil keputusan mengenai suatu sengketa. Secara umum pendekatan administrasi cocok dengan apa yang disebut sebagai pengambilan keputusan secara rutin. Melalui proses ini jika terdapat pihak yang tidak puas dengan keputusan yang diambil, kelompok tersebut dapat maju kepada jajaran administrasi yang lebih tinggi. Pendekatan yuridis atau hukum dilakukan melalui pengaduan dan pengadilan. Pendekatan ini dipakai apabila pihak yang bersengketa sudah sulit untuk berdamai, bahkan sulit untuk mengadakan dialog. Pendekatan politis, administrasi dan hukum cenderung menghasilkan pihak pemenang dan pihak yang kalah sehingga seringkali pihak yang kalah tidak mau bekerja sama dimasa mendatang. Dengan memperhatikan kelemahan ketiga pendekatan tersebut maka muncul pendekatan Alternatif Penyelesaian Konflik (APK). Alternatif penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh pihak-pihak yang bersengketa dan lebih mengutamakan kesamaan kepentingan pihak yang berkonflik sehingga akan dapat dicapai kesepakatan dan jalan tengah yang adil. Terdapat empat jenis alternatif penyelesaian konflik yaitu konsultasi publik, negoisasi, mediasi dan arbitrasi. Konsultasi publik pada dasarnya adalah saling membagi informasi dan mengemukakan pandangan kedua belah pihak untuk memastikan bahwa semua pihak mendapatkan kepuasan yang sama. Negoisasi adalah ketika pihak yang berkonflik bertemu untuk mencari isu-isu yang menyebabkan konflik dan bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan yang saling diterima oleh semua pihak secara konsensus. Sedangkan mediasi adalah bentuk khusus dari negoisasi yang melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai mediator/penengah. Arbitrasi adalah adanya keterlibatan pihak ketiga yang bertindak sebagai arbitrator yang berwenang untuk mengambil keputusan. Dalam arbitrasi, pihak yang berkonflik terlibat langsung dalam pemilihan arbitrator, tidak seperti dalam proses hukum di mana pihak yang berkonfliknya tidak berwenang dalam menentukan hakim yang memimpin sidang (Mitchell et al. 2007). Pendekatan alternatif penyelesaian konflik ini sejalan dengan strategi problem solving yang dikemukakan Pruitt dan Rubin (2004). Terkait konflik sosial tenural hutan, strategi atau pendekatan ini paling tepat diterapkan karena partisipasi masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu kunci dalam pelestarian Peran Perhutani dalam Penyelesaian Konflik Tenurial pada Kawasan Hutan.
Dengan menyadari bahwa masyarakat sekitar hutan merupakan stakeholder pengelolaan hutan, maka segala upaya penyelesaian konflik haruslah didasarkan pada semangat kepedulian pada pihak masyarakat dan pihak pengelola hutan. Menurut Mitchell et al. (2007) diperlukan beberapa syarat supaya alternatif penyelesaian konflik dapat diterapkan secara efektif. Pertama, individu atau kelompok yang berkonflik mampu mengidentifikasi isu-isu penyebab konflik. Kedua, diskusi dengan tatap langsung akan lebih produktif. Ketiga, komitmen sukarela muncul untuk penyelesaian masalah Bersama. Keempat, keinginan sesungguhnya dikemukakan untuk mencapai konsensus yang saling menguntungkan. Faktor kunci sebagai kondisi untuk bisa diterapkannya APK adalah bahwa semua pihak mampu mengenali dan menyetujui terhadap komponen atau dimensi masalah. Apabila salah satu pihak merasa bahwa kepentingannya terganggu oleh pihak yang lain namun pihak lain ini tidak mengenali masalah tersebut maka tidak mungkin dapat dilakukan penyelesaian masalah dengan baik. APK akan efektif jika semua pihak sepakat bahwa pertemuan bersama untuk menemukan penyelesaikan merupakan pilihan terbaik. Selain itu dalam penyusunan kesepakatan bersama jangka panjang perlu dipastikan semua pihak terwakili dan terlibat di dalamnya. Social Forestry sebagai Strategi Penanganan Konflik Pengelolaan Hutan Sepanjang sejarah manusia, sumber daya hutan telah dimanfaatkan sebagai penopang kehidupan manusia. Pemanfaatan hutan pada mulanya terbatas oleh masyarakat yang tinggal paling dekat dengan hutan, namun kemudian dengan adanya revolusi industri, era kolonialisme dan kapitalisme maka terjadi ekstraksi kayu pada hutan di seluruh dunia secara besar-besaran sebagai bahan baku dan bahan bakar dalam industri. Sebagai akibatnya terjadi kerusakan hutan yang menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem secara global. Dari ketiga manfaat hutan (sosial, ekonomi dan ekologi), selama ini manfaat ekonomi hutan yang lebih mengemuka. Bahkan hutan merupakan sumberdaya alam yang diharapkan menjadi leading sector bagi pembangunan yang berorientasi pada economic growth. Pertumbuhan ekonomi senantiasa menjadi jargon pembangunan oleh pemerintah. Implikasi dari hal itu adalah semua sektor kehidupan didedikasikan untuk mendukungnya, dan untuk mewujudkan hal ini maka kontrol negara menjadi sangat penting, konsekwensinya adalah diterapkannya model kebijakan yang top down, sentralistik, tidak berbasis pada kepentingan rakyat melainkan berbasis pada kepentingan pemerintah sebagai representasi negara. Dalam konteks ini ada suatu dilema antara mempertahankan kelestarian hutan ataukah memperbesar peran masyarakat dalam pengelolaan hutan untuk mendistribusikan secara langsung manfaat ekonomi hutan pada masyarakat banyak. Pandangan yang menganggap dua gagasan ini adalah suatu hal yang dilematis muncul karena anggapan keliru bahwa peningkatan peran masyarakat hanya akan membawa dampak buruk bagi kelestarian hutan, maka segala dampak negatif dari masyarakat perlu dieliminasi dengan membatasi dan menjauhkan masyarakat dari hutan (Sulistyaningsih, 2012). Menurut penulis, peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak selalu membawa dampak buruk bagi kelestarian hutan selama pengelolaan hutan dilakukan sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan lestari. Karena sebagian besar konflik tenurial hutan terjadi antara masyarakat sekitar hutan dan perusahaan atau pemerintah, maka untuk membuktikan bahwa peran masyarakat dalam pengelolaan hutan justru membawa dampak positip bagi kelestarian hutan, perlu dilakukan pendampingan dan pemberdayaan pada pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholders). Dengan adanya hubungan konfliktual antara kepentingan pemerintah atau perusahaan pengelola hutan dan kepentingan masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan, maka sejak tahun 1970-an mulai terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan.
Dari pengelolaan yang semula menitikberatkan pada keuntungan ekonomi menjadi pengelolaan yang selain berorientasi ekonomi besar juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat miskin di sekitar hutan. Salah satu strateginya adalah social forestry atau perhutanan sosial. Mitchell et al. (2007) mengemukakan bahwa aspek-aspek kunci pembangunan berkelanjutan meliputi pemberdayaan masyarakat lokal, swasembada dan keadilan sosial. Kemitraan di antara pihak-pihak pemangku kepentingan diterapkan untuk menekankan sebuah pendekatan partisipatif yang menyertakan baik kelompok kepentingan maupun publik secara luas dalam perencanaan lingkungan dan sumberdaya. Masyarakat dianggap lebih mengetahui cara pengelolaan hutan sesuai dengan local wisdom yang dimiliki. Penerapan social forestry generasi ketiga saat ini banyak dijumpai pada kawasan hutan adat, yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat adat setempat.
BAB II.
GAMBARAN UMUM
Wilayah kerja KPHL Unit XIV Toba yang berada pada Kawasan Hutan yang dominan penduduknya tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dengan segala dinamika sosial ekonomi dan politiknya, antara lain membawa implikasi berupa tekanan yang cukup besar terhadap kawasan hutan itu sendiri. Konflik mengandung arti pertentangan dua pihak atau lebih bahkan segolongan besar seperti negara. Konflik dapat disebabkan pertentangan bermacam kepentingan, kebencian, kecurigaan, rasa minder, dominasi pihak lemah oleh pihak kuat (Endang Suhendar & Winarni, 1998:32).
- Luas Kawasan Hutan memicu konflik
Luas kawasan hutan di Kabupaten Toba Samosir berdasarkan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MPRHL) Kabupaten Toba Tahun 2003 sesuai hasil padu serasi Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWP) Tahun 2005 atau berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Kabupaten Sumatera Utara adalah seluas kurang lebih 180.373,58 Ha. Bila dibandingkan dengan luas Kabupaten Toba Samosir maka luas kawasan hutan di Kabupaten Toba Samosir atau 89,20% dari total luas daratan Kabupaten Toba Samosir. Hal ini mengakibatkan banyak menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat karena banyak lahan pertanian/perladangan masyarakat, fasilitas umum, pemukiman, perkantoran yang ditunjuk menjadi kawasan hutan sehingga sering timbul konflik kepentingan di lapangan yang berdampak pada terhambatnya proses pembangunan di Kabupaten Toba Samosir. Seiring dengan adanya revisi SK Menhut No. 44 tahun 2005 tersebut, maka luas hutan di Kabupaten Tobasa berkurang menjadi kurang lebih 109,561.82 ha atau 52,82% dari total luas daratan Kabupaten Toba Samosir (Menteri Kehutanan RI Mengeluarkan SK Nomor : 579/Menhut-II/2014 mengenai Kawasan Hutan di Sumatera Utara pada tanggal 24 Juni 2014). Dengan demikian, maka luas KPHL Unit XIV Toba yang semula kurang lebih 87.247,00 ha berdasarkan Peta Penetapan KPHL Unit XIV Toba pada SK Nomor SK.867/MENHUT-II/2013 Unit KPHL Unit XIV Toba yang pembentukannya berdasarkan usul Bupati Toba Samosir sesuai surat Nomor 522/2554/Dishutbun/VIII/2013 tanggal 16 Agustus 2013, menyesuaikan dengan SK baru Nomor SK.579/MENHUT-II/2014 tentang kawasan hutan di Sumatera Utara menjadi seluas kurang lebih 56.621,84 ha dengan rincian hutan lindung seluas kurang lebih 43,412.28 Ha, hutan produksi terbatas seluas kurang lebih 1,957.25 Ha, dan hutan produksi seluas kurang lebih 11,243.31 Ha serta terdapat hutan suaka alam kurang lebih 9,00 Ha.
Perubahan luas kawasan hutan ini juga tidak mampu menyelesaikan konflik tenurial dikarenakan belum semua klaim yang diajukan oleh masyarakat dapat di akomodir dalam SK perubahan tersebut. Pada garis besarnya ada 2 (dua) macam corak konflik tenurial yang terjadi di wilayah kerja KPHL Unit XIV Toba, yakni corak yang bersifat horizontal dan corak yang bersifat vertikal. Sengketa horizontal ditunjukkan pada sengketa yang terjadi antar warga masyarakat, sedangkan sengketa vertikal terjadi antara rakyat melawan kekuatan modal dan atau dengan negara. Munculnya konflik tenurial tidak dapat dilepaskan pula dari pentingnya arti penguasaan tanah bagi seseorang atau sekelompok masyarakat, yang dengan sendirinya atau mempertahankan hak atas tanahnya. Beberapa konflik tenurial yang terjadi di kawasan hutan KPHL Unit XIV Toba, pendudukan (okupasi) merupakan salah satu jenis konflik yang upaya penyelesaiannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Pendudukan kawasan hutan dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diartikan sebagai menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Fakta yang terjadi bahwa pendudukan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Keadaan ini memunculkan suatu pemahaman di kalangan masyarakat toba menjadi berhak atas tanah kawasan hutan yang didudukinya dan oleh karenanya menurut anggapan mereka adalah wajar apabila masyarakat mengajukan permohonan atas tanah (sertifikat). Para okupan menghendaki untuk memperoleh hak milik.
- Pemetaan Potensi konflik tenurial dalam upaya penyelesaian masalah
pembatasan akses masyarakat terhadap kayu dan hasil hutan tidak akan mampu menyelesaikan konflik tenurial. Namun pelibatan masyarakat termasuk membuat aturan yang membatasi kegiatan di hutan yang telah dikuasai, melakukan penentuan jenis-jenis kayu bernilai ekonomi tinggi melalui inventarisasi tegakan, membagi hutan menjadi blok-blok (petak) hutan yang memungkinkan eksploitasi hutan sistematik, serta merekrut pekerja upahan untuk melakukan penjagaan dan eksploitasi hutan diharapkan mampu memberikan titik terang terhadap penyelesaian konflik tenurial. Dengan kenyataan bahwa hutan tidak lepas dari unsur adanya manusia seperti keberadaan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang telah bermukim bergenerasi di wilayah tersebut, -bahkan sebelum adanya aturan negara, maka konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur. Maka perlu dilakukan pemetaan terhadap konflik tenurial dalam upaya menentukan langkah-langkah yang hendak diambil dalam menyelesaikan konflik tenurial. Secara teknis penataan batas hutan menjadi elemen penting pengelolaan hutan yang optimal. Penatabatasan kawasan hutan harus melibatkan seluruh unsur pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat lokal dengan pengesahan dan berita acara yang jelas agar tidak lagi terjadi konflik.
BAB III.
HASIL/PEMBAHASAN
Selama ini, telah dicoba berbagai program untuk menyelesaikan konflik tenurial di areal kerja KPHL Unit XIV Toba yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta, LSM, maupun kelompok masyarakat. Tetapi kenyataannya sampai sekarang, konflik tenurial masih saja terjadi dan cenderung sporadis. Oleh karenanya kajian tenurial menjadi hal yang penting dalam kegiatan Pengelolaan hutan Berbasis masyarakat dengan pola Perhutanan Sosial dengan melibatkan semua pihak terkait (kolaboratif) sehingga mendukung upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas lokal di sekitar kawasan hutan. Kajian sistem tenurial ini juga diharapkan akan meningkatkan penggunaan lahan secara signifikan, terutama lahan-lahan kosong dan tidak produktif untuk kegiatan kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Guna menunjang keberhasilan penyelesaian konflik tenurial melalui pengembangan masyarakat dan peningkatan kapasitas lokal dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan, maka dapat dilakukan upaya atau program yang menyangkut aspek terkait yaitu: (1) Aspek Tenurial: Melaksanakan dan mengakomodir hasil pemetaan batas dan sumber daya alam desa secara partisipatif; Menetapkan dan menghormati kawasan-kawasan adat pada peta kawasan desa partisipatif sesuai dengan kesepakatan antara pihak yang berwenang dengan lembagalembaga adat; Memberikan kesempatan dan kepastian akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan atas areal-areal hutan negara yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat sesuai dengan fungsi hutan yang ditetapkan dan kesepakatan para pihak; (2) Aspek Sumber Daya Manusia: Memberikan kesempatan yang „lebih luas? dalam menuntut pendidikan formal kepada generasi muda melalui pemberian „beasiswa?, khususnya dari dana-dana yang berasal dari pemanfaatan sumber daya hutan setempat; Memberikan kesempatan masyarakat untuk dapat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pelatihan dan forum-forum diskusi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan; (3) Aspek Kelembagaan: Memperkuat keberadaan institusi lokal (struktur dan fungsi) baik yang bersifat formal (kelembagaan desa) atau informal (kelembagaan adat), khususnya dalam kaitannya dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pemanfaatan sumber daya hutan; Mengembangkan jaringan komunikasi dan kerja antar desa dalam upaya mencegah dan mengatasi konflik sumber daya yang sangat mungkin terjadi; Mengikutsertakan lembaga lokal dalam proses penyusunan kebijakan/peraturan yang terkait dengan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya hutan; Mendampingi kelembagaan lokal untuk tahu dan mampu menyusun usulan-usulan kegiatan tekait dengan pengelolaan sumber daya hutan kepada sumber-sumber pedanaan (funding agecies); dan (4) Aspek Perekonomian: Memprioritaskan alokasi dana yang berasal dari sumber daya hutan bagi sebesar-besarnya pembangunan (dalam arti v luas: fisik/non fisisk) masyarakat sekitar hutan dengan priorotas utama pada kebutuhan pokok yaitu pangan, kesehatan, dan pendidikan); Menggali dan mengembangkan bentukbentuk perekonomian masyarakat berbasis hutan (produk dan jasa), termasuk di dalamnya sistem pengelolaan pascapanen, jaminan pemasaran, dan (bilamana mungkin) hak paten atas teknologi/produk yang dimilikinya; Menganalisis kemungkinan pengembangan pola kemitraan (vertikal, horisontal) antara masyarakat lokal dengan pengusaha hutan skala besar, khususnya yang mengusahakan sumber daya alam sekitarnya.
Dalam penilaian tipologi konflik, dilakukan pengumpulan informasi yang lengkap untuk memastikan penanganan dalam setiap konflik yang terjadi, bisa ditentukan dengan tepat. Beberapa tahap awal dalam pengumpulan data konflik, diantaranya sebagai berikut:
-
- Pemetaan Sosial (Social Mapping)
Pemetaan sosial (social mapping) dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang sistematik dari masyarakat melalui pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat, meliputi karakteristik, profil dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Pemetaan sosial sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data dan kemampuan pencari data serta kedalaman analisisnya. Keluaran (output) yang diharapkan dari pemetaan sosial berupa identifikasi kondisi masyarakat dan peta wilayah atau peta tematik berkaitan dengan kondisi masyarakat dan beragam permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat ini. Tanpa data dan informasi ini, akan mengalami hambatan dalam menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-tradisi masyarakat yang terlibat dalam konflik tenurial. Kondisi masyarakat yang selalu berubah dan dinamis, memerlukan pemahaman mengenai kerangka konseptualisasi masyarakat yang dapat membantu dalam membandingkan elemen-elemen masyarakat antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Langkah awal untuk melakukan penilaian tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi adalah dengan melakukan pemetaan sosial (social mapping) melalui pendekatan 3 komponen penilaian, yaitu:
- Skala konflik: Skala konflik mengacu pada ukuran yang terjadi dalam suatu konflik. Skala konflik ini diantaranya adalah luas areal konflik, sejarah atau waktu/lamanya konflik berlangsung, pelaku/aktor, motif dan sebagainya.
- Intensitas konflik :Intensitas konflik berkaitan dengan jenis kegiatan, jenis produk, perkiraan hasil produksi, penghasilan/pendapatan, tipe pengelolaan (subsisten atau komersial), serta tingkat ketergantungan terhadap hutan dan sebagainya.
- Risiko atau dampak konflik: Risiko atau dampak dari konflik meliputi dampak terhadap aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya.
Besarnya skala dan intensitas yang terjadi pada suatu konflik tenurial akan memberikan dampak yang berbeda untuk setiap tipe konflik tenurial tersebut. Untuk setiap penilaian skala dan intensitas yang akan menghasilkan berbagai dampak, maka strategi penyelesaian konflik tenurial akan berbeda sesuai dengan penilaian sala intensitas. Untuk skala konflik yang rendah dengan intensitas yang rendah, kemungkinan akan menghasilkan dampak yang rendah terhadap kondisi lingkungan dan sosial. Sementara itu, untuk penilaian skala konflik yang tinggi pada intensitas yang tinggi, maka kemungkinan akan memberikan dampak yang besar terhadap kondisi lingkungan dan sosial
-
- Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping) Identifikasi
pemangku kepentingan dilakukan untuk mengatahu peran dan pengaruh pihak tertentu terhadap konflik tenurial yang terjadi pada kawasan hutan. Penekanan signifikan pada peran dan pengaruh pemangku kepentingan, didefinisikan sebagai pihak-pihak yang memiliki peran (mulai dari nilai kecil sampai besar) dan pengaruh (mulai dari lemah sampai kuat) terhadap setiap permasalahan konflik tenurial, baik pada tingkat internasional, nasional, regional (provinsi) maupun lokal (mulai dari kabupaten/kota, kecamatan, desa, dusun atau RT dan RW). Semakin detail mengidentifikasi pemangku kepentingan ini, baik pada tingkatan, peran maupun pengaruh, maka akan semakin memudahkan pengambil kebijakan dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu proses penyelesaian dari suatu konflik tenurial pihak mana saja yang terlibat dan pihak mana saja yang berpotensi terkena dampak dari adanya konflik tenurial ini. Untuk setiap kelompok pemangku kepentingan yang diidentifikasikan, akan dilakukan analisis tentang bagaimana konflik tenurial dapat mempengaruhi secara positif atau negatif terhadap aspek lingkungan dan sosial?; merekomendasikan cara untuk meningkatkan manfaat positif, atau mengurangi dampak negatif; merekomendasikan langkah-langkah untuk mendorong partisipasi pemangku kepentingan dalam rangka menyelesaikan konflik tenurial; dan mengidentifikasi potensi dampak dari terjadinya konflik tenurial, konflik sosial dan aspek lain yang terkait dengan pengelolaan kawasan Hutan.
-
- Tipologi Konflik Tenurial
Suatu konflik terjadi karena terdapat perbedaan cara pandang antara beberapa pihak terhadap obyek yang sama, dan antara beberapa individu atau kelompok tersebut merasa memiliki tujuan yang berbeda. Konflik menyangkut hubungan sosial antarmanusia baik secara individual maupun kolektif. Semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme, ketegangan, atau perasaan negatif. Konflik kawasan hutan berdasarkan jenis kegiatan yang terjadi terdiri dari konflik perambahan hutan, illegal logging, konflik batas klaim, kerusakan lingkungan, dan kebijakan alih fungsi lahan. Tipologi konflik tenurial dilakukan dengan tujuan untuk mengidentidikasi dan mengklasifikasikan tipe-tipe konflik tenurial yang berada dalam kawasan konservasi. Tipologi konflik tenurial perlu disusun agar memudahkan pengelola kawasan konservasi untuk mengetahui secara pasti kondisi dan sebaran serta proses penyelesaian yang akan dilakukan pada suatu konflik tenurial.
Tipologi konflik tenurial di kawaan konservasi didasarkan pada beberapa faktor penting sebagai berikut:
-
-
- Zona atau Blok:Pembagian zona atau blok untuk setiap kawasan hutan dikelompokkan sesuai dengan fungsinya.
-
Pelaku Konflik:Pelaku konflik tenurial di kawasan konservasi dapat dibagi menjadi 3 kriteria pelaku, yaitu: (a)Pelaku yang tinggal di dalam kawasan dan melakukan aktivitas di dalam kawasan; (b) Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun melakukan aktivitas di dalam kawasan; dan (c) Pelaku yang tinggal di luar kawasan, namun berperan sebagai pemodal. Dalam konteks ini pelaku dapat berupa individu/perseorangan, lembaga, atau korporasi.
-
-
- Sejarah atau Waktu Konflik: Sejarah atau waktu terjadinya konflik dapat dibagi menjadi 3 durasi, yaitu: Durasi konflik berlangsung < 5 tahun, Durasi konflik berlangsung antara 5 – 10 tahun dan Durasi konflik berlangsung > 10 tahun.
- Luas Areal Konflik: Luas areal konflik tenurial yang terjadi dapat dibagi menjadi 3, yaitu: Luas areal < 2 hektar, Luas areal 2 – 10 hektar dan luas areal > 10 hektar
- Orientasi Penguasaan Orientasi penguasaan lahan dalam konflik tenurial dapat dibagi menjadi 2 penguasaan, yaitu: a. Subsisten dan, b. Komersil
- Klasifikasi Penggunaan Lahan: Klasifikasi penggunaan lahan dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu: Lahan budidaya yang terdiri atas: - Perambahan pertanian lahan kering - Perambahan pertanian campur semak - Perambahan sawah - Tambak - Penggembalaan; Perkebunan, yang terdiri atas:- Hutan tanaman/monokultur/seumur- Perkebunan; Pertambangan tanpa ijin; Permukiman yang terdiri atas: - Fasilitas umum - Permukiman dan transmigrasi dan Klaim lahan yang terdiri atas: - Klaim adat - Tata batas (tumpang tindih).
-
-
- Konsep Penanganan Konflik Tenurial
Mekanisme penyelesaian konflik tenurial dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan plan (rencanakan) dimana pada tahap ini merupakan langkah awal untuk meletakkan sasaran dan proses yang dibutuhkan untuk memberikan hasil yang sesuai dengan kebutuhan. Pada tahap ini perlu disusun perencanaan yang sistematis dan matang sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi prioritas kerja atau program. Pada tahap ini juga disusun langkah-langkan teknis dan strategis untuk mencapai tujuan yang diharapkan; , do (kerjakan) Pada tahap ini melakukan kegiatan atau program yang telah direncanakan pada tahap sebelumnya. Proses kerjanya berdasarkan jadwal atau time frame yang telah disusun dan disepakati atau disetujui bersama. Didalam pelaksanaannya, kegiatan atau program ini dapat melibatkan instansi atau orang yang terkait dengan permasalahan yang akan diselesaikan; , check (cek) Tahap ini merupakan proses pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan atau program yang telah dijalankan. Pemantauan dan evaluasi ini dilakukan berdasarkan hasil yang telah dicapai terhadap sasaran yang telah direncanakan dan implementasinya pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian hasil perbaikan yang telah dikerjakan, apakah hasil yang diraih telah sesuai dengan target perencanaan atau masih perlu ada yang diperbaiki atau ditingkatkan lagi.; dan act (tindak lanjuti) Pada tahap ini dilakukan standarisasi berdasarkan hasil perbaikan sehingga dapat digunakan secara berkelanjtan atau berkesinambungan. Tahap ini merupakan dasar untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continual improvement) dari suatu kegiatan atau program. Hasil dari Act ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam memperbaiki proses perencanaan sehingga bermanfaat dalam proses-proses selanjutnya.
Tidak ada sengketa yang tak bisa diselesaikan, apalagi jika terdapat peluang-peluang yang dapat menjadi jalan penyelesaian. Dalam menghadapi sengketa atau klaim khususnya terhadap kasus pendudukan (okupasi) atas kawasan hutan, KPHL UNIT XIV dan Mitra pemilik IUPHHK-HT antara lain menempuh cara penyelesaian dengan cara menawarkan kerja sama melalui Program Perhutanan Sosial (PS). Dalam tawaran ini masyarakat dipersilahkan menggarap tanah hutan tersebut dengan pola khusus, tanpa menuntut status pemilikan atas tanah hutan tersebut. Jadi status tanahnya adalah tetap kawasan hutan, masyarakat dapat menggarap di tanah tersebut dengan jenis-jenis tanaman yang dirundingkan dan ditentukan bersama. Esensi dari program tersebut adalah sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan dengan strategi kolaborasi antara perusahaan dan masyarakat desa hutan, atau perusahaan dan masyarakat desa dengan pemangku kepentingan bersama untuk menjaga keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
BAB V.
PENUTUP DAN REKOMENDASI
- PENUTUP
Sudah sejak lama, dan diperparah pada era reformasi sejak tahun 1998, banyak lahan kawasan hutan yang berada dalam situasi konflik yang melibatkan masyarakat, institusi ataupun antar pemegang ijin pemanfaatan hasil hutan yang tidak mudah diselesaikan. Lahan kawasan hutan di KPHL Unitt XIV Toba pun tak luput dari adanya konflik. Penyelesaian konflik harus segera diselesaikan, dengan upaya tetap mempertahankan keberadaan fungsi hutan yang bersangkutan. Peran masyarakat sekitar hutan harus dilibatkan. Demikian pula hubungan koordinatif dengan pihak Pemerintah Daerah dan semua unsur yang berperan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, dan para tokoh adat. Akan tetapi, pokok pangkal terjadinya konflik lahan kawasan hutan, sejarah pemilikan lahan, penyuluhan dan faktor lainnya agar dikaji secara cermat sehingga penyelesaian konflik atau pencegahan konflik baru dapat dilakukan dengan baik. Meskipun diyakini memerlukan waktu yang panjang, masa benah pengelolaan sumber daya hutan dan kehutanan Indonesia harus dilakukan mulai sekarang dengan konsep berjangka dan komitmen bersama untuk tujuan pembangunan yang bersifat nasional. Oleh karenanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui KPH yang telah ada harus lebih dimantabkan peranannya untuk memikul kompleksitas beban pengelolaan hutan dan kehutanan dalam mendukung tugas-tugas pembangunan negara. Kehutanan memerlukan pembenahan mendasar dari sisi organisasi, program, kebijakan, dan personel. Tanpa penguatan peran tersebut pada sektor kehutanan yang sekaligus memiliki peran sentral melestarikan inti lingkungan kehidupan, suatu program perekonomian hanya akan menjadi sia-sia sehingga pada akhirnya justru akan meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan, pembangunan ekonomi, dan lingkungan hidup sendiri.
- REKOMENDASI
Rekomendasi penyelesaian konflik tenurial dilakukan sesuai dengan skala dan intensitasnya yaitu:
-
- Mediasi: merupakan tahapan paling awal setelah tipologi konflik tenurial berhasil dirumuskan. Alternatif penyelesaian konflik tenurial melalui mekanisme mediasi merupakan alternatif penyelesaian wajib yang harus ditempuh pada setiap tipologi konflik tenurial di kawasan HUTAN
-
- Penegakan Hukum: Penyelesaian konflik tenurial pada kawasan hutan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti peraturan perundang-undangan. Penyelesaian konflik melalui penegakan hukum harus mempertimbangkan kemampuan dan kemauan aparat penegak hukum lainnya dan pemerintah daerah untuk terlibat dalam upaya penegakan hukum, kemungkinan terburuk yang terjadi sebagai akibat upaya penegakan hukum harus sudah diukur dan diprediksi, termasuk skenario-skenario penanganannya beserta semua pihak terkait, dan apabila dalam perkembangannya upaya penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan atau pelaksanaanya menemui kendala sehingga tidak berjalan dengan baik, maka tahapantahapannya secara runtut dan jelas secara kronologis dituangkan dalam suatu bentuk dokumen/laporan yang menjadi bukti bahwa rekomendasi penyelesaian konflik tersebut telah dilaksanakan namun menemui kendala/permasalahan.
-
- Kemitraan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan dalam rangka Pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera.
-
- TORA/pelepasan: TORA/pelepasan mengacu pada Perpres No. 88 Tahun 2017 bahwa Tanah Obyek Reforma Agraria atau TORA adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi; Penyelesaian konflik tenurial dengan skema TORA diawali dengan kajian area konflik terhadap peta Indikatif TORA yang merupakan hasil usulan dari Pemerintah Daerah; Penyelesaian konflik tenurial pada hutan konservasi melalui skema TORA hanya dapat dilakukan dengan pemanfaatan tanah; Penyelesaian konflik tenurial dengan Skema TORA dilakukan dengan prinsip kehatihatian berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan dalam hal konflik tenurial berada dalam zona inti taman nasional atau blok perlindungan, maka skema penyelesaian konflik tenurial melalui TORA tidak berlaku
- Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan mengacu pada regulasi terkait pengukuhan kawasan.
- Koordinasi Direktorat Jenderal KSDAE - Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
REFERENSI
Adhawati, S.S.,1997. Analisis Ekonomi Pemanfaatan L ahan Pertanian Dataran Tinggi di Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Goa. Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin. Makasar.
Ambarwati, Maria Endah, Sasongko, Gatot, Therik, Wilson M.A. 2018. Dinamika Konflik Tenurial pada Kawasan Hutan Negara (Kasus di BKPH Tanggung KPH Semarang). Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol 6, No 2. Bogor.
Anonimus, 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.Anonimus, 1999. Undang -Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Rebublik Indonesia. Jakarta.
Arifandy, M. Imam et al. 2015. Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan. Agustus, hal. 147-158. Bogor.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana. Jakarta.
Azwar, S., 2010. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi ke -2. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Bukhari dan Febryano, I.G., 2009. Desain Agroforestry pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Perennial, 6(1):53-59.
Dassir, M., 2008. Resolusi Konflik Pemanfaatan Lahan Masyarakat dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Luwu Timur. Jurnal Hutan dan Masyarakat,3(1):1-10.
Jurnal Hutan dan Masyarakat, Vol. 3 No. 1. KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXVIII No. 2, 2019: 88 - 113 112 (Diunduh dari www.researchgate.net/publication/265241016_RESOLUSI_KONFLIK_PEMANFAATAN_LAHAN_MASYARAKAT_DALAM_KAWASAN_HUTAN_DALAM_KAWASAN_HUTAN_DI_KABUPATEN_LUWU_TIMUR/am pdf).
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Vol. 11 No. 4, Desember. (Diunduh dari http:// ejournal.fordamof.org/latihan/index/JPSE/article) Larson, Anne M. 2013. Hak Tenurial dan Akses ke Hutan, Manual Pelatihan Untuk Penelitian. CIFOR,. (Diunduh dari http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/ BLarson1302.pdf).
Larson, Anne M 2013. Hak Tenurial dan Akses ke Hutan Manual Pelatihan untuk Penelitian. CIFOR. (internet) 17 April 2021. Diunduh dari http://www.cifor.org/ publications/pdf_files/Books/BLarson1302.pdf.
Mitchell, Bruce, Setiawan, B, Rahmi, D. Hadi. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Citraningtyas, Erlita Rahardian. 2014. Konflik Tenurial dan Peluang Penanganannya di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Kalibodri, Kesatuan Pemangkuan Hutan Kendal. Tesis, Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Maria Endah Ambarwati , Gatot Sasongko, DINAMIKA KONFLIK TENURIAL PADA KAWASAN HUTAN NEGARA (Kasus di BKPH Tanggung KPH Semarang) Dynamics of The Tenurial Conflict in State Forest Area (Case in BKPH Tanggung KPH Semarang Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Muhamad Fajrin Hidayat , dan Iskandar, RESOLUSI KONFLIK TENURIAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN DI HUTAN LINDUNG RIMBO DONOK KABUPATEN KEPAHIYANG (The Tenurial Conflicts Resolution of Utilization of Forest Areas in Protected Forests Rimbo Donok Kepahiang District) Gunggung.
Pruitt, D.G., dan Rubin, J.Z., 2009. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Ulya, N.A., Warsito, S.P., Andayani, W., dan Gunawan, T., 2014. Nilai Ekonomi Air untuk
Rumah Tangga dan Transportasi, Studi Kasus di Desa Desa Sekitar Hutan Rawa Gambut
Merang Kepayang, Sumatera Selatan. J. Manusia & Lingkungan, 21(2):232-238
Simon, Hasanu 2004. Membangun Desa Hutan Kasus Dusun Sambiroto. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sulistyaningsih. 2013. Perlawanan Petani Hutan Studi Atas Resistensi Berbasis Pengetahuan Lokal. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik, Prenadamedia Grup. Jakarta.
Vastergaard, Bjarne, Helvard, Erick, Sorensen, Rieck. 2011. Conflict Resolution, Working With Conflict. Danish Centre for Conflict Resolution, Frederiksberg. (Diakses dari https://www.konfliktloesning.dk/sites/.../ConflictResolution.pdf)
Wulan, Yuliana Cahya. et al. 2004. Analisis Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia. Centre of International Forestry Research, Bogor. (Diunduh dari www.cifor.org/library/1614/analisa-konflik-sektor-kehutanan-di-indonesia-1997- 2021)